Sebuah Potret Kesenjangan

Tinggal di sebuah kampung dengan latar belakang penduduk yang heterogen, membuatku kerap memotret realita kehidupan sehari-hari yang membuatku merenung.

Setiap hari, beberapa saat setelah Subuh, kala gelap masih setengah menyelimuti bumi, aku sudah mendengar suara derit roda gerobak, yang ditarik oleh sejumlah buruh bangunan, beberapa di antaranya adalah tetangga-tetanggaku sendiri. Mereka yang rumahnya tampak kumuh, berlantaikan tanah, dan berpintu triplek seadanya tanpa sentuhan cat.

Dan pagi itu aku berdiri di tepi jalan berpaving seberang rumahku, memandangi mereka yang beriring-iringan menarik gerobak berisi batako, pasir, dan semen. Mereka yang sebelum mentari terbit telah basah baju kumalnya oleh derasnya tetesan keringat. Dan rokok yang terselip di bibir mereka yang menghitam—sarapan mereka setiap pagi.

Kuikuti langkah-langkah mereka dengan tatapan mata, tubuh mereka semakin mengecil di kejauhan sana. Aku mendongakkan kepala. Mataku menatap nanar pada bangunan-bangunan setengah jadi yang menjulang di kejauhan sana. Sebuah potret kesenjangan terhampar di depan mata. Buruh-buruh itu, yang rumahnya kumuh berlantaikan tanah, setiap hari harus bekerja membanting tulang. Setengah mati memeras keringat dan menguras tenaga demi berdirinya rumah-rumah bertingkat kaum berpunya. Sebersit tanya pun terlintas di benakku. Pernahkah ada rasa pedih di dada mereka mendapati kenyataan ini?

Lihatlah! Alangkah berat dan melelahkan pekerjaan mereka! Pekerjaan kasar yang membuat tulang serasa remuk, urat-urat bertonjolan, dan legam kulit mereka. Pekerjaan berat dengan hasil tak seberapa, kecuali beberapa puluh ribu rupiah saja setiap hari, yang akan mereka bawa pulang bersama tubuh penat mereka saat hari telah gelap, dan habis dalam sekejap untuk membeli rokok, beras, lauk seadanya, serta mencicil tunggakan-tunggakan hutang.

Tak adakah rasa pedih menyeruak di dada mereka? Ketika rumah megah telah berdiri dengan angkuh, tanpa bisa mereka nikmati keempukan sofanya, kehalusan lantai keramiknya, kesejukan kamar-kamar berpendinginnya. Karena hari itu, seperti hari-hari kemarin, mereka tak punya pilihan lain kecuali pulang ke rumah mereka. Rumah-rumah gubuk berlantaikan tanah, berperabot reyot, dan atap yang meruahkan air kala musim hujan tiba. Yang hari demi hari tak terlihat semakin indah, namun semakin tampak semakin kusam dan nyaris ambruk karena minim perawatan.

Tak adakah rasa pedih itu?

Robb, pagi ini aku sungguh bersyukur atas hidayah-Mu. Hingga kami tahu makna menggantungkan harapan hanya kepada-Mu. Dan Kaumudahkan kami menjemput rizki-Mu, tanpa harus jungkir-balik setiap hari dengan melupakan ibadah kepada-Mu. 

Terima kasih atas karunia-Mu ya Robb, Kaujadikan kami berilmu, hingga kami tahu bagaimana cara membelanjakan uang yang Engkau ridhoi, sehingga tak ada rokok dalam daftar belanja kami, sementara di sisi lain orang-orang miskin di negeri kami membelanjakan dua puluh persen pendapatannya untuk rokok (astaghfirullah). 

Matahari mulai tinggi saat aku menyeberang jalan untuk kembali masuk rumah mungilku. Waktunya berbenah dan sholat dhuha, bagian dari ikhtiarku untuk menjemput rizkiku hari ini. ***

by: Elka Ferani
20 Desember 2012
http://kerjadarirumahku.blogspot.com